Jumat, 10 Februari 2012

My first Hanchul!


Author note : Annyeong! Hi! Aku gak akan bicara banyak karena aku gak bisa bicara terlalu banyak. Menurutku sih. Tapi gak kata oranng2 sekitarku..
Yeah, I just want to say.. This is my first Bromance and the couple is Hanchul! ^^ Kyaa! Hanchul!! >o<
Ok, Mengenai cerita, kalian akan tahu sendiri kalo kalian baca ^^ (ya iyalah.. -_-)  Ya, aku cuma pgn tau gmn feel para readers waktu baca FF ini ^^ Semoga, ff ini bisa mengobati kerinduan kalian sama Our Gege oppa, ELF :") Aku rindu momen Hanchul dimana aku bisa selalu liat mata berbinar keduanya. Dimana aku bisa liat wajah berseri-seri keduanya. Wajah tulus Chullie oppa. Wajah bahagia Gege oppa. Apa kalian rindu itu semua? Ya. Aku ngerti perasaan kalian. Aku ELF. Dan, di dasar hatiku masih tersisa rasa sakit dari para antis Gege oppa. Mengatakan menunggunya hanya hal bodoh dan percuma. Hhh~ Jadi haru-haruan nih bahasanya.. =,= 
Tpi, bwt catatan, FF ini mengambil tema yang berkesan klasik dan setting berbeda jauh. Ini AU. Dan part 1 ini menceritakan mereka yang masih kecil dan... disini belum ditonjolkan intinya. Jadi, jangan bingung, ok? So, silahkan read this dan silahkan buat settingan sendiri dalam kepala kalian! Happy reading all! ^^




Innocent Love

~~~

~FAILED ‘A’ PLAN

Namaku…
Baik. Aku tahu ini buruk.
Mungkin kalian bingung. Tak mengerti akan pembukaan cerita kali ini.
Begini, kebanyakan orang mengawali ceritanya dengan sebuah perkenalan. Tapi, aku bukanlah orang kebanyakan. Aku tidak mempunyai identitas. Kedengarannya aneh bukan?
Tapi, memang beginilah aku.

Aku terlahir bukan dari perut seorang ibu. Begitulah pikirku. Benihku bersumber dari rintik hujan. Tumbuh di dalam kardus dan di depan pintu. Saat pertama aku membuka mata, yang kurasakan hanyalah cuaca dingin. Tak ada selimut. Tak ada senyuman. Tak ada nyanyian. Hanya suara hujan. Bahkan tak ada makanan. Aku juga selalu telanjang. Hanya terbungkus selembar kain. Itu sangat dingin dan membuatku menangis. Tetapi, tangisanku itulah awal dari segalanya. Karena tangisan itulah aku ditemukan. Aku jadi dapat melihat banyak hal yang berwarna-warni. Aku dapat mendengar banyak hal. Khususnya suara wanita yang nyaring. Aku bisa merasakan nikmatnya makanan meski bukan dalam jumlah banyak. Aku juga ber-baju. Istilah yang aneh. Tapi, aku memang tidak pernah mempelajari kalimat. Tulisan. Dan huruf. Meski sebenarnya aku ingin. Keadaan yang tidak memungkinkan menyebabkan kebutaanku pada huruf. Kata-kata yang sering kudengar juga kata-kata umpatan dan bernada kasar. Semua orang di dekatku selalu berbicara dengan keras. Membentak dan berteriak.
”Hei!! Kau! Kenapa kau diam saja di situ? Kau! Kesini! Kita ini sedang berunding, bodoh!”
Nah, kau dengar itu? Ada seseorang lagi yang berteriak.
”Kau! Yang duduk di dekat meja!! Kau!!”
Tampaknya, kepadakulah orang itu berteriak. Aku menengok kecil ke sumber suara.
”Ya! Kau! Yang sedang duduk di dekat meja! Kemari!” Ia menggerak-gerakkan telunjuknya ke arahku. Secara otomatis kedua mata sipitku mengikuti gerakan jarinya. Ke kiri. Ke kanan. Maju. Mundur. Semua orang pasti mengenggap ini konyol. Kudengar suara cekikikan mereka. Mereka menertawakanku. Orang dengan jari aneh itu juga pasti mempermainkanku. Ia tahu aku mengikuti gerakan jarinya. Ia membuat jarinya berputar-putar cepat. Tapi aku tidak menyerah. Aku terus mengikuti gerakannya. Sekarang ia buat jarinya ke-atas dan ke-bawah. Aku tetap tidak menyerah. Kurasa orang-orang berhenti menertawakanku. Sekarang tidak ada suara. Hening. Kurasa mereka mengagumi kemampuan mata sipitku. Aku tersenyum bangga dalam hati. Mataku masih berkonsentrasi pada jarinya. Tapi tiba-tiba jari itu berhenti. Aku tersentak.
”Haah! Dasar bodoh!”
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Sedikit sakit karena bola mataku terus bergerak cepat.
”Siapa yang mau melakukan hal bodoh ini?” Kulihat pipinya memerah. Ia meletakkan kedua tangan di pinggangnya yang kurus.
”Kau! Pesuruh! Aku hanya menyuruhmu mendekat! Kemari cepat!” Ia melambai-lambaikan tangannya.
Aku mengangguk pelan. Aku beranjak – sedikit melompat – dari kursi berkaki panjang ke bawah lantai yang dingin. Aku berjalan canggung dan mendekat ke arahnya. Mataku mengerjap.
”Kemari! Bentuk lingkaran!” komandonya.
Semuanya menurut. Begitupun aku. Tapi, ini ternyata hal tidak mudah. Yah, tidak semudah yang kubayangkan. Tubuhku sedikit gemuk tetapi aku sangat pendek. Tanganku yang pendek menggapai-gapai ke pundak Siwon yang tinggi besar.
Tampaknya lelaki itu menyadari hal bodoh yang kulakukan. Karena tegurannya kembali bergema di telingaku. ”Hei! Pesuruh! Kenapa lagi?”
Aku tidak memedulikannya. Aku terus berusaha keras menggantungkan tanganku di bahu Siwon. Tampaknya Siwon sadar hal itu. Ia menengok padaku dan tersenyum kecil. Memperlihatkan lesung di kedua pipinya. Ia meraih tanganku yang kecil dan pendek dengan tangannya yang besar. Ia gantungkan tanganku ke pundaknya. Itu membuat kaki kanan dan perutku tertarik karena selisih ketinggian yang drastis. Aku mengaduh kesakitan.
Hal ini membuat orang itu membentakku kesal. ”Haaah!! Pesuruh kecil! Turunkan tanganmu darinya! Itu membuatmu terlihat seperti bebek di pasar HanGumae! Memalukan!”
Sontak, semua orang di dekatku menyemburkan tawa mereka. Aku menarik tanganku dari pundaknya dengan malu.
”Tidak perlu merangkulkan tangan begitu!” komandonya. Semua orang lantas melepaskan rangkulan tangan mereka dari bahu orang di samping kanan-kiri mereka.
”Membungkuk semua!” komandonya lagi sembari membungkukkan badannya yang panjang dan kurus.
Semua orang mematuhinya. Aku menengok sebentar dan ikut menunduk. Beberapa orang memperhatikanku karena aku lamban.
”Siapa suruh menengok seperti itu? Membungkuk kubilang!” bentaknya.
Semua orang kembali membungkukkan badannya. Mereka benar-benar penurut. Saat ini orang itu benar-benar seperti seorang jenderal dengan kami sebagai tentara-tentara kecilnya.
”Aku, Kim Heechul..”
Oh.. jadi itu namanya.
”Disini akan memimpin sebuah aksi terhebat dan terbesar. Terpenting dalam hidup kalian.”
Kalimatnya berantakan.
”Aksi yang akan merubah hidup kalian! Percayalah padaku.”
Semua orang mengangguk-angguk. Aku mengikuti mereka.
”Kudengar, semua aksi akan berjalan lancar jika dijalankan dengan penuh kekompakan dan rasa kebersamaan. Tapi, semua itu tidak akan tumbuh dalam hati kita jika tidak dimulai dengan sebuah kesadaran. Dan dasar dari semua itu, kalian harus menyetujui aksi kali ini...”
Ia berhenti sebentar untuk menambah efek. Bola matanya bergerak-gerak, memandangi kami satu persatu. Aku menunduk kecil.
”Aksi apa itu, Heechul-ssi?”
Suasana tegang itu terusik dengan suara kecil seorang gadis. Beberapa menoleh ke arah gadis itu dnegan pandangan menyalahkan.
”Argh! Diam! Siapa suruh mengganggu? Aku belum menerima pertanyaan, Sunkyu!!”
Gadis itu, tanpa rasa bersalah hanya memperlihatkan sederetan gigi putihnya.
”Huu...” Terdengar seruan pelan disana-sini.
”Ahhh!! Diam! Diam! Diam! Kalian semua ini! Mau kulanjutkan tidak hah?!”
Sontak, beberapa dari kami mengunci mulut rapat-rapat.
Ia menarik nafas panjang. Semuanya menatapnya dengan tegang.
”Kita semua..” ucapnya pelan.
”Akan pergi dari panti asuhan...,” katanya akhirnya.
Sesaat, suasana hening. Tidak ada respon. Aku menelan ludah. Kabur? Dari panti asuhan? Tidak!
Panti asuhan memang kejam. Memperlakukanku bagai budak. Tapi, bagaimana aku akan makan jika bukan dari tempat ini? Kami semua membenci tempat ini dan kami sadar akan hal itu. Fisik dan tenaga kami terforsir habis karena kegiatan-kegiatan yang tak sesuai dengan umur kami. Tapi, kami harus makan. Meskipun kami akan terbebas dari setumpuk pekerjaan, cambukan, dan jam tidur yang sangat minim, kami membutuhkan makanan. Baju. Dan tempat berteduh. Aku tak bisa membayangkan hidup sebagai anak jalanan. Tidak. Aku tidak mungkin. Kuharap, semua orang berpikiran sama denganku.
Dan, nampaknya memang begitu. Setidaknya seorang lelaki bertubuh kurus kecil yang kini mengeluarkan keringat dingin karena panik.
”Tidak! Tidak! Tidak, Heechul-hyung! Aku tidak bisa!” kata seorang lelaki kecil dengan panik. ”Aku tidak bisa!” Ia terus berkata dengan panik sembari membubarkan diri dari barisan perlahan.
Semua orang berhenti menunduk. Mereka menatap lelaki itu, sementara beberapa dari mereka mengangguk dengan takut-takut. Semuanya menatap Heechul dengan pandangan takut. Meragukan. Aku hanya diam. Dan menggeleng pelan.
”Heechul-hyung! Aku tahu! Tempat ini memang neraka!!” lelaki itu mengucapkannya dengan ekspresi tragis. ”Dan aku memang lelah dengan semua perlakuan ini!! Kalian tahu?? Diantara kita semua, akulah yang paling sering mendapat cambukan! Akulah yang paling sering disiksa karena keterbatasan fisikku!”
Ya. Lelaki itu memang. Salah satu kakinya lebih panjang dari kaki lainnya. Wajar jika ia histeris.
”Aku tahu! Kita semua... memang menganggap tempat ini neraka!! Aku memang lelah dengan semua diskriminasi ini!!!”
Beberapa orang berjalan ke arahnya. Merengkuh bahu lelaki itu dengan gugup. ”Tenanglah Hyukjae-ah... Tenanglah..”
Tak ada seorangpun kecuali aku yang menyadari bahwa Heechul menatap kejadian ini dengan pandangan mengerikan. Ia marah. Dan itu wajar. Ia maju dengan pasti. Merengkuh bahu lelaki itu dengan marah, gelisah. ”Kalau begitu, mengapa kau tak ingin pergi dari sini?!” Matanya menatap nyalang. Bulu kudukku berdiri. Nada ancaman dalam suaranya terdengar begitu mengerikan untuk seorang lelaki berumur 10 tahun.
Lelaki itu menghentakkan bahunya dengan marah. ”Kau tahu aku selalu ingin pergi!? Sejak umur 2 tahun aku dibawa ke tempat ini oleh kedua orang tuaku. Dan kau ingat apa kata mereka padaku?! Waktu itu kau disana! Kau melihat semuanya, bukan?! Mereka bilang mereka hanya menitipkanku beberapa hari pada bibi yang baik! Dan waktu itu aku begitu memercayai mereka... Mereka bilang mereka akan kembali dalam beberapa hari! Mereka bilang aku dapat bermain denganmu dan yang lainnya! Mereka bilang yang kubutuhkan hanyalah teman! Dan waktu itu aku begitu memercayai mereka... Hingga hari itu... aku mulai sadar! Mereka menjualku!! Mereka menjualku sebagai budak yang harus bekerja untuk nenek sihir itu dan kau tahu apa? Kau tahu apa alasan mereka? Mereka menjualku karena tak tahan akan keadaanku ini! Bahkan ibu yang begitu kusayangi! Mereka tak ingin anak sepertiku yang cacat begini! Tak tahukah kau, betapa aku begitu membenci tempat ini?!”
Heechul menatapnya jauh lebih marah dari sebelumnya. Ia mencengkram kerah anak itu. Beberapa anak perempuan menjerit dan menutup mata mereka dengan tangan.
”Hyung...” kata Siwon tegang.
Ia mengacuhkannya. ”Kalau kau membenci tempat ini, mengapa kau tidak pergi saja, bodoh?!! Pergilah dari sini! Bersamaku dan yang lainnya! Dengan rencanaku!! Kau hanya harus menyetujuiku!!”
”Tidak! Tidak akan! Orangtuaku... aku memang membenci mereka! Nyonya Geum! Aku juga membencinya! Mereka bertiga... Tahukah kau selama satu tahun aku selalu hidup dengan kepercayaan penuh pada orang dewasa?! Tapi apa? Mereka, yang kupercayai sepenuh hatiku menjualku! Tahukah kau bahwa bersamaan dengan itu runtuh kepercayaanku? Aku tidak akan pernah mempercayai orang dewasa lagi! Tidak akan pernah seumur hidupku!
”Sementara itu kau mengajak kita semua kabur? Pergi dari sini?! Itu sama saja kau membebaskan kami dari kandang singa dan memasukkan kami ke rawa penuh buaya kelaparan!!”
Perumpamaannya begitu mengerikan, hingga tanpa sadar aku mencengkram lengan Donghae di sebelahku. Kutatap wajahnya. Donghae. Aku mengenalnya sebagai anak lelaki paling menarik di panti asuhan ini. Ia selalu baik pada semua orang. Ia selalu tersenyum. Tapi, sekarang. Lelaki itu menatap pemandangan di depannya tanpa senyuman. Wajahnya menampakkan urat-urat tegang. Itu membuatku sedikit ketakutan.
Suara Hyukjae yang parau kembali terdengar.
”Di luar sana Heechul-hyung!! Di luar sana... Ribuan orang dewasa jahat tersebar!! Mereka akan menatapku sebagai anak jalanan dengan kaki pincang yang menjijikkan!! Mereka akan memandangku penuh rasa hina... Dan aku hanya akan meringkuk ketakutan di pinggir jalan. Menunggu waktu terus berjalan sementara perlahan, aku akan mati dengan rasa kelaparan dan ketakutan menyakitkan!!”
Lelaki itu mengatur nafasnya. Ia akhiri pidato singkatnya dengan sebuah gerakan mantap. Ia mencampakkan tangan Heechul yang keras dari kerahnya dan dengan sigap melompat ke tempat ia tidur. Mungkin lebih tepat jika kusebut dengan, karpet berkutu. Ia ringkukkan badan kurusnya. Menghadap ke arah dinding yang dingin, memunggungi kami dengan aura penuh kebencian.
Itu tadi sangat mengerikan. Beberapa anak perempuan jatuh terduduk dengan lemas. Seohyun bahkan nampak seperti kucing sekarat saat Heechul menepuk bahunya untuk menyuruhnya segera tidur. Aku tahu ia putus asa. Lelaki kecil itu tahu, bahwa penolakan Hyukjae tadi merupakan representasi dari suara hati kami semua. Kuperhatikan kedua bola matanya. Tetap tenang. Ya. Aku memang belum pernah melihat orang ini menangis. Ia begitu kuat hingga aku ragu, apakah saat pertama kali lahir ia menangis. Kurasa, Tuhan bahkan tak memberi waktunya untuk menangis dan meringkuk. Ganjil rasanya membayangkan seorang Heechul menjadi bayi. Ia begitu kuat dan dewasa. Dan berani. Dan bersemangat. Dan ambisius. Dan juga pantang menyerah. Sesaat, aku merasa begitu kecil hanya dengan menatapnya menggandeng Kyuhyun yang nampak sedikit ketakutan. meski lelaki yang biasanya usil itu tak mau menunjukkan rasa takutnya.
Sesaat, ruangan sepi. Begitu kontras bila dibandingkan dengan keadaan beberapa puluh detik sebelum ini. Kupandangi Hyukjae. Punggung kurusnya yang penuh bekas cambukan terlihat naik turun secara teratur. Ia telah lelap. Mungkin ia terlalu lelah setelah seharian ini terus bekerja dan mendapat banyak cambukan, dan malam ini. Ia kembali diingatkan pada masa lalunya. Tapi, aku tak bisa sepenuhnya menyalahkan Heechul-hyung.
Kusenderkan punggungku ke dinding. Aku rasa aku juga sedikit lelah. Kejadian sesaat tadi cukup mengguncang mentalku. Donghae dan Siwon berjalan pelan ke arah karpet. Berusaha mengambil jarak sejauh mungkin dari Hyukjae. Sungmin berjalan dengan gugup ke arah Kyuhyun dan menggenggam kedua tangannya. Hingga akhirnya ia tertidur di dekat Kyuhyun. Kibum yang memang selalu tenang memandang Heechul beberapa saat hingga akhirnya ia putuskan untuk berbaring di antara Donghae dan Yoona. Hyoyeon telah tidur sejak tadi. Kudengar, gadis itu sangat membenci Hyukjae. Wajar jika ia menganggap ini hal biasa, mengacuhkannya, dan dapat tidur dengan cepat. Wajah Sunkyu yang biasanya ceria terlihat sedikit pucat ketika ia membalikkan badannya untuk menepuk nyamuk nakal yang dengan iseng hinggap di kakinya.
Kini tinggal aku dan Heechul-hyung. Sesaat, ruangan teerasa begitu senyap. Aku tak mengerti apa yang harus kulakukan. Heechul-hyung terus berdiri terdiam dengan posisi memunggungiku. Rencananya telah gagal. Gagal begitu saja. Tanpa sempat dicoba. Hanya karena sebuah bantahan. Aku tahu ia putus asa. Tapi, ia tak menunjukkannya. Aku mulai bergerak. Berlutut di dekat Sunkyu. Biasanya aku memang canggung dengan para gadis, tapi ini ialah jarak terjauh dari Hyukjae. Aku begitu takut dengannya. Kami sendiri sebenarnya cukup akrab. Tetapi, ketika ia mulai membicarakan orang dewasa, aku seakan tak mengenalnya. Kepercayaannya yang tulus pada orang dewasa telah terpatahkan begitu saja.
Masa lalu kami semua sebenarnya memang buruk. Kami memang hanya sekelompok anak biasa. Dengan masa lalu suram yang kini masuk ke masa sekarang yang tak kalah suram. Terjebak keadaan dan terpaksa menjadi begitu keras. Aku bergidik memikirkannya. Aku sendiri tak tahu dengan masa laluku. Hanya saja, orang-orang bilang aku ini orang asing.
”Hhh~”
Terdengar hembusan nafas. Kugerakkan kepalaku ke arah Heechul-hyung. Ia berjalan pelan ke arah kursi yang tadi kududuki. Aku terpaku melihatnya mendongak menatap bulan. Cahaya bulan begitu terang di kegelapan kamar kami. Tampaknya sedang purnama. Sesaat, aku berfirasat tak wajar. Aku takut ia akan berubah menjadi manusia serigala. Aku memeluk lututku semakin erat. Aku memutuskan untuk terus begini dan tidak tidur sampai pukul 3 pagi besok, untuk kembali memeras keringat. Hingga sebuah suara lembut yang sebelumnya belum pernah kudengar, mengurungkan niatku.
”Tidurlah Pesuruh Kecil.. Kau harus tidur untuk mempersiapkan diri dengan rencana B-ku. Rencana A-ku mungkin gagal. Tapi, aku tak akan menyerah. Tidurlah..”
Ia berkata begitu tanpa menatapku. Tapi aku cukup tersentak. Ia begitu lembut. Membuatku ragu untuk membantah. Entah kenapa, di saat ini, aku merasa sebagai sosok diriku yang lain. Begitu juga dengan Heechul-hyung. Aku rasa, ia telah berganti jiwa. Aku memutuskan berdiri untuk memeluknya. Tapi, ketika aku mendekat, menatap otot matanya yang berkerut serius, aku megurungkan niatku. Kulangkahkan kaki ke dekat Sunkyu. Hingga akhirnya terlelap dengan keadaan lilin di kamar yang masih menyala.

Hingga tengah malam, entah pukul berapa, aku terjaga tanpa sengaja. Mataku mencoba membiasakan diri dengan kapasitas cahaya yang minim. Kuperhatikan kursi yang tadi Heechul-hyung duduki. Sudah tak ada orang di atasnya. Tapi, kurasa ’rencana B’-nya telah ia susun. Melihat kursi yang telah didorong masuk hingga ke dalam meja. Ia pasti telah amat yakin pada rencana-nya hingga ia sempatkan merapikan kursi. Kugerakkan badanku pelan hingga aku melihat sebuah kejadian yang membuat mataku terasa panas untuk sesaat. Disana. Dipojok sana. Dipojok dinding dingin yang catnya terkelupas, sebuah sosok yang kupikir telah tertidur kini tengah memeluk sesosok pria kecil dengan punggung yang naik turun tak beraturan. Sosok itu berkali-kali menghapus keringat dingin yang tak berhenti keluar dari kening sosok kurus dalam dekapannya, dengan kaos berdebunya.
Sosok itu Heechul-hyung... Sedang menenangkan Hyukjae yang tengah mengigau tanpa suara..

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman