Entah, tiba-tiba nulis ini dan aku sendiri gak ngerti kenapa? Bisakah jadi fanfiction? Setelah aku baca lagi ini bener2 semacam trailer..
~
Hujan turun semakin
deras. Gadis itu masih menatap ke satu titik dengan khawatir. Bola matanya yang
cantik dan hitam legam mengikuti gerakan titik itu. Banyak pikiran berkecamuk
di kepalanya. Ia menggigit bibir dengan resah. Mengerjap-ngerjapkan matanya
yang indah dan memutuskan untuk kembali berkonsentrasi pada kopinya. Ia
menyeruputnya lagi. Menghirup aromanya dan merasakan manis sekaligus pahitnya.
Ia mencoba menghilangkan kecemasan yang tiba-tiba melanda tanpa alasan yang
jelas. Ia bahkan menuliskan beberapa kalimat secara asal di laptopnya yang kini
telah menampilkan sebuah layar kosong tanpa tulisan.
Tapi kini tidak hanya hujan, tiba-tiba petir datang
menyambar. Sementara di luar, orang-orang mulai berlindung dan menghentikan
aktivitas mereka.
“Klang~ Klang~” Pintu di kafe itu terbuka. Berdiri seorang
tua dengan pakaian tebal yang telah basah kuyup karena hujan, memegang sebuah
kotak peralatan memancing. Yang segera saja menarik perhatian beberapa pasang
mata untuk mengamatinya sejenak. Perhatian gadis itu pun akhirnya teralihkan
sejenak. Ia menengok ke arah orangtua itu.
“Di luar hujan deras. Deras sekali.”
Tiba-tiba kakek itu mulai berbicara. Herannya, ia sama sekali
tak seperti bergumam. Lebih seperti berbicara kepada orang tak terlihat.
Beberapa orang menengok heran. ‘Gila…,’ batin mereka.
Lelaki tua itu masih belum menyerah. Entahlah… Mungkin
benar-benar bermaksud mengabarkan fakta yang sepertinya tak usah dibicarakan
lagi, atau sekedar ingin menarik perhatian. “Benar-benar deras. Dengan petir
menyambar-nyambar. Hhh.. Benar-benar dingin disana.” Suaranya yang serak dan
berat membuat gadis itu tak bisa tidak mendengarnya. Sementara matanya kembali menatap laptop di
hadapannya, telinganya menangkap semua hal yang dibicarakan orangtua itu. Ia
merasa, jelas-jelas merasa, orangtua itu berbicara kepada dirinya. Ia tahu,
mungkin hanya perasaan atau imajinasinya karena terlalu sibuk dengan tugas di
kantornya belakangan ini, tetapi yang jelas ia merasakan sesuatu ketika
orangtua itu berbicara. Ia merasa terpanggil. Ia merasa ketahuan. Akan suatu
hal yang selama ini selalu ia simpan untuk dirinya sendiri.
Masih berusaha
mengerjakan laporan-laporan dan portofolio akuntan, suara itu semakin nyaring
dan nyata memanggilnya. Tiba-tiba gadis itu mendesah keras. Ia menatap ke arah
orangtua itu dengan cepat. Sudah tidak ada. Matanya terbeliak heran. Sontak,
kepalanya cepat berputar mencari keberadaan bapak tua tadi. Tapi kini orang itu
telah duduk. Masih sembari berbicara memang. Tapi ia berbicara tentang pesanan dengan
suara normal kepada seorang pelayan. Gadis itu mendesah lega. ‘Ia hanya
orangtua biasa. Bukan peramal atau semacamnya,’ pikirnya tenang.
Ia kembali ke dalam laporannya. Tetapi hujan semakin deras.
Suara hujan semakin meneror pikirannya. Pikirannya bertambah kalut. Ia tak bisa
berkonsentrasi. Secara asal ia membuka sebuah lembar kosong di monitor dan
mengetikkan kalimat-kalimat yang tak beraturan. Mencoba menyibukkan diri untuk
menghilangkan kecemasan. Ia mengerutkan dahinya. Rasanya seperti ingin berteriak
untuk menghilangkan kecemasan itu.
Kini, bola matanya berganti-ganti menatap ke arah monitor
yang penuh dengan deretan kalimat tak jelas, ke arah sebuah titik yang masih
bergerak dengan kecepatan yang sama di luar, diantara hujan yang semakin lebat,
ke arah kopi moccanya, ke arah pintu
kafe…
“Brakk!” Gadis itu berdiri secara tiba-tiba, hentakannya
nyaris membuat kursi yang ia duduki terjungkal. Beberapa orang menatapnya
heran. Gadis itu tak peduli, dalam hitungan detik ia segera menyambar sebuah
payung yang kebetulan ada pada jangkauan pandangnya, entah milik siapa itu, ia
segera berlari keluar. Mendorong pintu kafe dan berlari ke luar, membuka payung
dengan sigap. Hujan deras dan angin membuat kulitnya bergidik. Sebagian
rambutnya yang terurai berkibar-kibar ditiup angin. Gadis itu berlari.
Menyeberangi jalan dan menggeliat di antara barisan kendaraan yang tengah
berhenti, melintasi hujan dengan payungnya. Berlari menyeberang jalan ke arah
sebuah lapangan.
Ia berdiri dan mengatur nafasnya. Titik yang berlari itu,
kini sedang berlari di hadapannya. Semakin dekat dengannya. Ia berlari ke satu
tempat dan berhenti dengan mantap. Kini, dengan payung yang ia sandarkan ke
bahu kanannya, ia berdiri menatap ke titik tersebut. Titik yang kini berada
satu baris sejajar dengannya.Titik yang masih berlari dengan kecepatan sama, ke
arahnya… Dan kini berhenti.
Dekat. Ia sudah dekat dengan titik itu sekarang. Berhenti.
Titik yang selama ini ia perhatikan terus bergerak dan berlari, kini berhenti.
Dihadapannya.
Gadis itu menahan nafas. Herannya, hanya karena hal seperti
ini, jantungnya berdegup sangat kencang. Ia merasa berdebar. Sekarang titik
dihadapannya telah menjadi sebuah sosok. Sebuah sosok dengan jaket abu-abu yang
basah kuyup dan sepatu kets berwarana putih. Punggungnya turun naik karena
kehabisan nafas. Perlahan-lahan, sosok itu mulai bergerak lagi. Ia mendongak.
Dan mereka bertatapan.
Gadis itu terkesiap. Ia merasakan jantungnya semakin
berdebar.
“Siapa kau?” Suara yang berat dan hangat itu memecah
kesunyian di antara rintik hujan yang ramai. Seperti yang dari dulu ingin ia
lakukan, gadis itu mengulurkan tangannya yang memegang payung. Ia maju satu
langkah, yang membuat keduanya makin dekat. Dan kini mereka bahkan berada di
dalam satu payung yang sama.
“Disini dingin. Dan hujan sangat deras. Kau bisa sakit.
Bisakah kau berhenti berlari? Untuk hari
ini saja,” pinta gadis itu. Entah apa yang membuatnya berani berbicara. Yang
jelas ia merasa lega. Ia merasa senang. Tetapi sesuatu di wajah lelaki itu
berubah drastis. Air mukanya. Matanya. Hawa diantara keduanya. Hawa dingin dan
canggung yang kini menjadi lebih dekat dan… justru aneh. Lelaki itu terkejut.
“Kau kenapa?” Tanya gadis itu gugup. Merasa bersalah. “Apa
aku mengatakan sesuatu yang salah?”
“Tidak. Tidak.” Lelaki itu menggeleng. Ia menatap ke arah
payung.
“Ini..”
Gadis itu tak meneruskan perkataanya.
“Eh.. Bisakah kita berteduh?” Tanya gadis itu. Gugup.
Lelaki itu terdiam beberapa saat. Menatap gadis itu. Atau
entah, menatap apa. Yang jelas ia sedang menatap sesuatu. Memikirkan sesuatu.
Ia mengangguk.
~
0 komentar:
Posting Komentar